Hadi S.

<pre align="right"> Untuk A. Hussein </pre>
<pre> Bila soalnja kebenaran, tuan, kami selalu berlapang 
<pre align="right"> dada </pre>
Kami ini anak merdeka, lebih besar tertimbang nafsu 


Tapi bila tangan terulur sefihak, segala batas telah
<pre align="right"> terlampau </pre>
Dan bila keramahan dianggap kelemahan, bila soal-
<pre align="right"> nja tak lagi kebenaran </pre>
Terdjadilah jang pasti terdjadi sebab ditangan kami
<pre align="right"> kata terachir </pre>
Terimalah sekarang djawaban ini, karena kami
<pre align="right"> anak merdeka </pre>


Tuan tak usah mentjari lupa, apapula tempat
<pre align="right"> sembunji </pre>
Kami ada dimana-mana, didesing peluru dipinggang
<pre align="right"> berajun </pre>
Dikekeluan tembok pendjara, kekeluan hutan dan
<pre align="right"> senjum padi </pre>
Karena kami jang menentukan, djuga nisan kuburan
<pre align="right"> tuan. </pre>


Kami, jang lahir dipangkuan maut dan mengalahkan
<pre align="right"> maut. </pre>
Tuan kira siapa kami ? </pre>
 
 

**Sumber**: Laut Pasang, 1962

djawaban

<pre>
my father was not among those who returned

my father fell on the field of battle



my heart's torn asunder with sorrow and grief

and the red-and-white flag flutters high in the sky



oh, people of today

do you hear ?

my father is dead, he was slaughtered by bullets

oh, why does such suffering still stalk the earth ?
</pre>

 

**Sumber**: Contemporary Progressive Indonesian Poetry, 1962
**Penerjemah**: Bintang Suradi

my father

<pre> 
Datangnja begini halus 
Atas padang kelabu dimalam kudus 
Tak tjaja mengantar tak bunga mengalun 
Sehalus sutera dunia terangkum. 

Suara hati tersendat-sendat 
Malam begini terendam, begini terdekap 
Hilang beriak bumi-pidjakan diruang teramat gaib 
Didalam darah jang menetesi hati dan pandang 
<pre align="right">Kristus dikaju salib.</pre>

Disenjuminja hati, hati jang letih 
Senandung duka menangisi kenangan begini pedih 
Tapi betapa nikmat dunia-pilihan jang sendiri disiratkan
Pada djalan sepandjang hidup berngaraipun sepi dan kesakitan 

Dan bila tersedan hati, hilangnja sesajup mimpi 
Dilagu takpernah pergi, didjalan masih sendiri 
Diudjungnja aku terbangun, disentak malam disentak dunia
Pergulatan betapa gemuruh sedang kerdja belum selesai.
</pre>
 

**Sumber**: Laut Pasang, 1962

ave maria

<pre align="center">
1.
</pre>
<pre>
Perpisahan karena kewadjiban, dimana tjinta menjertai
Dan bajangan diruang sunji, bajangan dipertemuan
Membuat tjinta takpernah tumbang, disegala badai
<pre align="right">
jang menjertai
</pre>
</pre>

<pre align="center">
2.
</pre>

<pre>
Djarak antara kita manis, penaka lagu mengalun 
<pre align="right">pergi</pre>
Diudara ia tiada, namun hati semakin kembang
Oleh dunia jang makin baru, dunia kerdja 
<pre align="right">
jang penuh warna
</pre>
Dunia jang pasti kita menangkan, samudera lagu
<pre align="right">
kasih dan sajang.
</pre>
</pre>

 

**Sumber:** Laut Pasang, 1962

perpisahan

<pre>
Tugu dari kemesraan dan kekaguman baru datang
<pre align="right>
terdekap
</pre>
Bila mendebur ombak, badai segala badai
Njaris terlajangkan lambaian terachir dan hilang
<pre align="right">
disatu regukan
</pre>
Dunia dan usia, sendja menggelepar datang
<pre align="right">
mendjangkau
</pre>
</pre>


<pre>
Tjintanja datang karena kerdja ditangan tua jang
<pre align="right">
gemetar
</pre>
Dipunggung bungkuk anak desa jang matinja
<pre align="right">
kelaparan
</pre>
Ditindakan jang sarat oleh djawaban untuk
<pre align="right">
zamannja
</pre>
Dalam hati jang selalu berbisik :
O, usia berbidjih rasa, nikmatnja berumah dan
<pre align="right">
bekerdja
</pre>
Bila malam mendjelang datang tak manusia didera
<pre align="right">
perut dan hati
</pre>
</pre>


<pre>
Tjintanja datang bermekaran didaerah penempaan
<pre align="right">
manusia baru
</pre>
Dunia perlawanan dan kepahlawanan dari manusia
<pre align="right">
jang bekerdja
</pre>
</pre>

<pre>
Gelombang datang gelombang pergi --- samudera
<pre align="right">
megah pada tempatnja
</pre>
Usia datang usia pergi --- segala jang lahir untuk
<pre align="right">
berbunga.
</pre>
</pre>

 

**Sumber**: Laut Pasang, 1962

usia penjair

<pre align="center">
1.
</pre>

<pre>
Petang itu kami dengarkan ia dari radio
Aku, Ris dan Rumambi, --- berapa djuta kami disini ?

Habis itu aku pergi
Seperti ringan beban dibahu, hilang wasangka
Dan terasa harinja semakin pendek.

Aku lihat orang didjalan, kakinja kurus-kurus
<pre align="right">
berdaki
</pre>
Tulang pelipis mendjorok kemuka, tjekung seperti
<pre align="right">
mendakwa
</pre>
Silang-siur lalu-lintas, silang-siur warna putjat
Dan gerimis turun seperti doa, langit abu-abu
Semuanja seperti mimpi, mimpi jang rampung
Semuanja betapa chidmat, --- nun, alangkah merah
langit di Barat !
</pre>

<pre align="center">
2.
</pre>

<pre>
Ketika sampai aku dirumah, anginpun rebah
Malam larut, tempat bergumul segala rasa
Kudengarkan ia berdenjut, kesegaran dan harapan
Kerdja dan bumi tak lagi tersia, jang lama tersia
<pre align="right">
lahir kembali.
</pre>

Tapi malam inipun berketjamuk tanja
Adakah akan disepikan, bahwa djuga
Dalam tjahaja jang ditemukan, jang digenggam
Dalam laut biru pasang
Jang muntjul kepermukaan adalah buih dan kaju
<pre align="right">
apung ?
</pre>

Ataukah ini bala jang lama,
Bisa dan benalu jang tambah marak
Dalam warna bermain betapa indah ?
</pre>

<pre align="center">
3.
</pre>

<pre>
Achir daerah ini sudah kita temukan, daerah
<pre align="right">
perbatasan
</pre>
Segala taruhan sudah diberikan, bentuknja kepertjajaan
Dan ini adalah jang terachir : Udjung djalan matjam
<pre align="right">
begini
</pre>

Dia jang lahir dalam kerdja setiap hari, darimana
<pre align="right">
dunia dilahirkan
</pre>
Dia tahu harga dirinja, tahu dimana harus dimulai
Tapi diapun --- api jang tahu batas terachir
Antara menghidupi dan menghantjurkan
</pre>

<pre align="center">
4.
</pre>

<pre>
Malam itu dunia terhenti, sebentar
Kaki langit sudah dibuka.
</pre>
 

**Sumber**: Laut Pasang, 1962

laut pasang

<pre align="center">
Pagi
</pre>

<pre>
Bumi menggeliat dipeluk embun
 dan bangun
Pagi inipun kerdja menanti dan beruntun
 menjambung lapar, tapi toh
 melawan maut
</pre>

<hr class="w-1/2 mx-auto border-t-2 border-gray-300" />

<pre align="center">
Sementara
</pre>

<pre>
Kerdja dan kepahitan jang djadi satu, betapa
<pre align="right">pedihpun</pre>
Dari sini nilai dibangun, betapa indahnja

Mobil mewah dan rumah jang gemerlapan
Lidah jang didjual, harga diri jang digadaikan
 atau
Keringat jang dihisap dan darah jang disadap
</pre>

<hr class="w-1/2 mx-auto border-t-2 border-gray-300" />

<pre align="center">
Kemerdekaan
</pre>

<pre>
Tunduk tersipu kau, o keagungan tertjinta
Digelap pendjara jang memalukan, jang dinamakan
<pre align="right">bahagia</pre>

Tunduk tersipu kau, o keagungan, tapi betapa hati
 kauhangati
Sekali kau akan membakar, dan dunia bakal bergetar
</pre>

<hr class="w-1/2 mx-auto border-t-2 border-gray-300" />

<pre align="center">
Pilihan
</pre>

<pre>
Kalau kenjang tak boleh, ngomongpun tak boleh
Saudara,
Pilihan kami tinggal sebuah.
</pre>

 

**Sumber**: Laut Pasang, 1962

sadjak² hitam

<pre>
the night is lonely
but my heart is lonelier still
the cold wind yearns for your cabin door
and all of you are lulled to sleep

I come ... 
albeit the dew has merged as one 
albeit the cold has penetrated my bones 
for all of you are my devotion 
I must come though 
you know nothing 

I set my longing to verse 
though it has no meaning 
but I do it for the sake of love and purity of heart 

the night is lonely
but my heart is lonelier still
and tomorrow ...
the day will return on the surge of labour
the harbour will bustle 
the workshops will ring again 
and the radiant morning will dawn. 
</pre> 
 

**Sumber**: Contemporary Progressive Indonesian Poetry, 1962
**Penerjemah**: Bintang Suradi

lonely night

<pre align="left">
Entah djiwa ini akan mendjangkau
Ketinggian jang tidak akan tertjapai
Atau getaran jang memudar dalam ketidaktahuan,
Kerinduan ini masih tetap membudjur dalam badanku
Menggema senantiasa, dalam Impian
Jang djuga menggema.

Dan sedari tingkatan pertama
Dari kekanak-kanakan serta penerimaan
Jang pertama djuga
Gema ini tak kundjung hilang-hilang
Dari relung dan lubuk djiwaku.


1948
</pre> 
 
Sumber: Jang djatuh dan Jang tumbuh, tidak ada tahun

gema

<pre align=”left”>
Tak pernah lagi sekarang aku bersama-sama
ketjuali memura sama berkisar, sedjak terpaksa.
Aku senantiasa memutar karena diputar
Runtuhan Impian dan djeritan melengking.

Dan kalau topi peminta dibawah lampu
telah terkulai lemah dikekelaman kota
dan segala menjepi digedebur ombak :
terhenjak-ngilu segala keakanan

Ah, perkakas rindukan Tjahaja
dan kau, gemintang – sombong dilangit tinggi,
menjelunduplah sana dengan kesepian – terkutuk ini :
Apa tak kenal kalian, aku ini pemeras semesta ?

Pergilah pergi dikolam atau dilaut tiada pantai
atau disampah-sampah jang menari dikota-kota :
Aku pemeras bermata sipit
dari setiap tetesan nikmat

1949

</pre> 
 
Sumber: Jang djatuh dan Jang tumbuh, tidak ada tahun

musafir

<pre align=”left”>
Kekasih,
Bila badai ini kelak reda sudah
dan segala getaran jang kini menjelubung
menghempas dan mengembalikan aku
dari danau – sunji – menjedihkan
jang membisu karena kesangsian
menghadapi segala jang akan tib aini
dan kemesuman karena ajah dan ibuku
telah sama hilang – sebagian difadjar matamu-
akan baru tunduk aku memudja kebenaran
dan kenjataan jang sama-sama kita tjiptakan.

Entah segala jang membajang ini,
akan sama mengendap pula kelak bersama embun
jang menjedjukkan gairah matamu
atau elang dan tjamar sama hidup berterbangan ria,
djiwaktu : bajangan ini !

Marilah kekasih, adikku sajang,
kita njatakan bajangan ini
ditengah kekuningan segala
karena paksaan dan tebaran
njala jang menjala dalam ketidaktahuan
api mendjilat.

Biar segala jang kini meradjuk
dan mentari jang mengedjek disana
tunduk – tersipu – malu
menentang kita.

1950
</pre> 
 
Sumber: Jang djatuh dan Jang tumbuh, tidak ada tahun

bajangan

<pre>
<pre align="right">
California-garden, Roma, 26-7-1951
</pre>
<pre align="left">
Irama pekat berdengung djalang
dan mata merah menatap ufuk,
tanja – tak – tahu menanti djawab
alunan darah terhenti beku.

Malam ini terlalu dalam
datang pergi lagu lama
dalam irama sematjam ;
bergelut rumput dalam keinginan
setinggi langit.

Perbandingan dalam harapan dan kesangsian,
megap2 kepala dalam hati,
dan terbang burung arah barat,
djauh pergi, djauh pergi.

Lahirlah bajangan didalam pekat
dalam runtuhan rumah ditapal batas
menanti tagihan tajangan sesaat.
</pre> 
 
Sumber: Jang djatuh dan Jang tumbuh, tidak ada tahun

malam ditapal batas

<pre align=”left”>
Permulaan jang kesekian kalinja berachir disini,
terdjatuh semi-lama kedasar-bekas sebagai jg dahulu pula.
Entah segala jg bermain kini akan berachir pula
dalam kepalsuan – tidak – berani menentang kenjataan
jang sebenarnja, belum dapat kupastikan njata,
tapi pernahkah jang dulu2 tetap melekat dalam
<pre align="right">
Kesungguhan ?
</pre>
Pergilah kau, bintang dinjala kerinduan mata menen-
tang tjaja, pergi mematah dibulan indah atau menetap
disini bagi hiasan djalan-hidup selandjutnja.
Njaji jang berkumandang hingga kini adalah njanji
ganti-berganti.

( Berlin ) – 1951.
</pre> 
 
Sumber: Jang djatuh dan Jang tumbuh, tidak ada tahun

bagian babak

<pre align=”left”>
Diantar malam musim gugur
dan lengking bunji kereta – malam
serta djangkauan pada kelip pelita – djauh
lampaulah garis batasan ini.

Tiada tari dan njanji menghibur,
semua gelap-kelabu bersama malam
dataran tjoklat, hitam – buta
meremang berat didasar hati.

Guruh tawa dan njanji bahagia
jang berkumandang abadi dialam semesta
tiada djuga memberi njawa
kedalam ketandus – keringan didalam.

Bilanglah ini pemain panggung
jang gila menjangka semuanja benar
tjintanja bertukar setiap malam
dan tiap malam disangkanja abadi.

Tapal-batas Djerman-Polandia, 6-10-1951
</pre> 
 
Sumber: Jang djatuh dan Jang tumbuh, tidak ada tahun

abschied.

<pre align="center">
Utk Emkn.
</pre>
<pre align="left">
Kemesraan jg kita djalin bersama kepergian musim-panas,
ketika tjetusan hati-muda dunia hanja tinggal kenangan,
dan daun2 sudah kering dipohon dan bumi,
berbisik sajup-saju dibadan jang merangka.

Kurenggut semua harap dan ketulisan,
kulumuri segala jang putih dan berkilat
dimalam kenangan-buta -jang dulu kusebut : perasan
<pre align="right">
 nikmat !-
</pre>
dan kemesraan murni jang palsu-kasar.

Kuntjup dan kemekaran, merdu dan kemeresapan
hanja sampai kemari seperti salak – rahu
sedang rasa dan djandji melambung kelangit
dan kupatahkan otak dengan harapan dan kejakinan-bisu.

kudjeludjur kedjantanan ajam kebirian
dengan kebutaanmu dan kebutaanku
kupadukan kelemahan jang menanti kasih
dengan binatang jang mendjelma djuga djadi kasih.

Dan kini, sepergiku ini,
Kita njanjikan bersama lagu jang lalu
Jg kubanting-hantjur bersama harapan dan kepertjajaan
Kutentang hari dan malam kepahitan
Dan kautentang matahari jang tak mungkin tenggelam.

( Warsawa. ) 10-10-1951
</pre> 
 
Sumber: Jang djatuh dan Jang tumbuh, tidak ada tahun

abschied (II)

<pre align="left">
Dalam pembukuan diachir malam gerimis
jang menari kelam karena kenjataan
membanting remuk aku dalam bandingan
dengan jang telah mendahului aku :
membelai bahagia untuk kembali menderita
karena damba rasa memendam fikir.

Mengganas - terdjal kenangan bahagia - berdarah
seperti tundjukan onta pada musafir dimalam - gurun
tiada batas, tiada air dan tiada kehidjauan.

Beduk kematian tak akan memberitahukan
dan mengulangi segalanja ini dalam kelandjutan
sekalipun tandatanja masih terus akan mengikuti
bersama ruang dan waktu diperbatasan tjakrawala.

Ah lenjaplah kau, andjing menetek hati berdarah
dan berilah aku susu dari sumur dialektika
. . . . . . . . . . . . . kupendam rasa dibalik pikir !

16-17-4-1952
</pre>
 
Sumber: Jang Djatuh dan Jang Tumbuh, tidak ada tahun.

satu adegan.

<pre style="text-align: justify;">
Dada kering dan minuman api jang membeku dalam
<pre align="right">tanggal penjelesaian jang dulu-dulu.</pre>
meraju tekanan hati pada kesaratan tjinta jang merintih
serta kemuraman musim jang digenang kengiluan,
membawa otak - berkarat jang melamunkan harapan.

Kumandang satu lagu dari tahun ketahun,
dan kegelisahan mata memandang ufuk
serta segala tjairan njala - Raja
menjatu dalam titik-penentuan ini.

malam sedalam ini
penuh kengiluan bunji sobekan
serta djangkauan pantjaindera
jang tidak sampai.
 
19-3-1952</pre>
 
 
Sumber: Jang djatuh dan Jang tumbuh, tidak ada tahun.

elegi.

<pre style="text-align: right;">
Tak tahu pasti aku kenapa air mataku dulu ikut 
tertjutjur : Apa karena malammu jang „tak mungkin 
berachir” atau „kemenangan” jang kuperoleh.
Jang silam bagiku masih sadja merupakan langkah-
langkah kurus jang mengachiri sendja-merah.
Tapi ah, bukan sendja merah jg berachir. Jang 
berachir hanjalah kelembajungan langit, diganti 
kehitaman malam Dan kenapa aku musti suram 
memandang j.a.d. ? Ja, angin malam terus meng-
hembus. Kini bukan menepis buih sadja, tapi 
djuga perut jg mengeluarkan darah. Dan dada-
kupun djuga keluar busa-darah.
Kembali aku djadi pelarian : -menjusu sendja !
</pre>

<pre style="text-align: left;">29-2-1952.</pre>

<pre style="text-align: right;">
Dengan bernafsu aku menjusu darah-kenangan : 
malah bantalkupun ikut menjanjikan irama djalang. 
Ja, kemenangan ini hanjalah persembunjian. Dan 
akan kekalkah kebutaan jang dialangi lalang tiga 
lembar ?
</pre>

<pre style="text-align: left;">1-3-1952.</pre>

<pre style="text-align: right;">
Pernah orang bilang: „Dengan tjerminpun aku 
segan membagi”.
Dan aku masih musti menekan dada untuk tidak 
mengatakan:
„Dengan masa lampaumupun aku segan membagi”
</pre>

<pre style="text-align: left;">1-3-1952.</pre>

Sumber: Jang djatuh dan Jang Tumbuh, tidak ada tahun

lembaran hitam.

<pre align=”left”>
Entah dari mana ini mata jang merah kering
dikuras gelegak sedjuta dentum dan djerit
dibabas tulang dan bangkai jang berkaparan
mengeluarkan air dari hati jang membara dendam,
aku tak tahu pasti.

Dan diatas puing jang menggunung ini, diatas rasa disobek api.
dari kesajupan segala jang tertjemar, terhina,
mesra-gagah air mata membasahi djutaan djasad :
dan dari pelukan-badja selembut bunga-mahkota
berkumandang njanji dan derap langkah menembus langit dan bumi;

Hidjau, hidjau engkau Berlin Raja,
hidjau dalam kesemianmu, dalam kemilau kasih merata,
hidjau dalam hari Raja manusia sedunia ini,
hidjau dalam hari tekad dan kemenangan tjinta
perwujudan kehendak dan kedjudjuran manusia.

. . . . . . . . padatlah hati kering-dendam ini
dengan kasih jang bertabur dari seluruh pendjuru dunia :
darah dan airmata-lampau kuhirup bersama tulang jang berserak
kululur bersama gonggongan andjing sampai tapal batas penghabisan
</pre> 
 
Sumber: Jang djatuh dan Jang tumbuh, tidak ada tahun

BERLIN-RAJA.

<pre align="right">
mendjelang tahun baru
</pre>
 
<pre align="center">
I
</pre>
 
<pre>
Jang silam, silamlah -- sekalipun hati masih mengenang
Jang datangpun, datanglah -- aku bukan orangnja jang
 ketakutan menantikan kau.
</pre>
 
<pre>
Dan terlelappun hati karena perpisahan -- kutjuplah
 aku -- perpisahan menjaratkan tjinta dan
 membawa kegelisahan.
Dimana rindu ditentukan oleh apa jang musti dikerdjakan,
 dimana bunga gemetar diwarnanja sendiri.
Tjinta, tjintalah pada jang dikenang, gembira, gembiralah
 karena sekitar
Padat oleh hapusnja beda karena kesempatan-dan-
 kebetulan dan sarat oleh persamaan
 karena kerdja.
</pre>
 
<pre align="center">
II
</pre>
 
<pre>
Malam ini orangpun tidur diantar harapan
Senjum mengulum ditiap bibir -- jang mengutjup leher
 kekasihnja atau hilang dipelukan derita
Alangkah indahnja mereka bila tidur -- jang tinggal
 hanja namanja: manusia.
</pre>
 
<pre>
Berdekapanlah tubuh, jang tadi dibedakan pada hilang
 ditelan malam dan akan belandjut
 dipergulatan esok.
O kerinduan, alangkah sederhana tapi alangkah keras!
</pre>
 
<pre>
Djalin, djalinlah hati -- entah sampai kemana --
 tapi djalinlah
Djalinlah aku dengan darahku sendiri -- dengan
 kesetiaan pada kepertjajaan jang aku pilih.
</pre>
 

**Sumber**: Nasi dan Melati, 1956

malam

<pre>
Disini api pernah membakar
 dan Bandung bergetar
Disini api semakin menjala
 dan Bandung menggema ditiap dada.

Ditiap djengkal tanah airku
Ditiap muka berdjalur derita
Bandung satu dengan harapan
 satu dengan ketjewa
 samudera kepalantangan.

Dan kami jang dihidupi, kami jang ditempanja
 jang merasakan sakitnja setiap puing
kamipun api jang akan membakar
 meluluhkan dan menumbuhkan

Bandung, Bandungku,
Berdjuta harap dipangkuanmu
Berdjuta hati dipelukanmu
 Tidurpun kami mendukung sumpah.
</pre>

 

**Sumber**: Harian Rakjat, 6 Djuni 1959

Bandung

<pre align="right">untuk kawan Zukhunov</pre>
<pre align=”left”>
Kenangan padamu memanglah sakit 
– betapa tidak, kau kakakku
Kenangan padamu alangkah indah 
– karena djusteru kami berlawan
dan menang.

Kenangan padamu alangkah chidmat 
– karena djustru jang kami menangkan
adalah djuga kemenanganmu
kemenangan kita
jang diatas pundaknja
tergelar sedjarah manusia
</pre>
 
 
Sumber: HR Minggu, 11 Agustus 1963

kenangan

<pre align="right"> untuk Utuy</pre>
<pre align=”left”>
Pada senjumnja jang teduh kelihat kedalaman
Rahasia hidupnja jang seperti teraba tapi betapa djauh
Menggamit hati jang gelisah dan kesepian
Terapung sengsara dalam tanja jang tak kundjung berdjawab.
Ada terasa tangan-usia mendjamah kepertjajaan
Pada diri sendiri, dan masa-lampau jang belum sudah
Menggeligir dikegelapan malam, riun dilanda atjuan
Dan ia tersenjum, dan iapun terus bekerdja
</pre>
 
 
Sumber: HR Minggu 11 Agustus 1963

mira

<pre align="left">
Ia berkata : Hati ini terluka
Dan sepilah dunia karena pedih

Ia berkata : Aku badai
Dan membadailah bumi

Ia berkata : O betapa indah
Dan terasa pelukannja dipusat hati

Ia berkata : Engkaulah badai
Dan membadailah djagad untuk keduakalinja seabad ini

Ia berkata : Engkaulah panglima
Dan panglimalah kami
Asia
Afrika
Amerika Latin
</pre>
 
 
Sumber: HR Minggu 11 Agustus 1963

Tari Ketjak

<pre align="left">
Bukan kematian benar jang djadi soal
Makanan manusia jang tidak mati
Tapi kematian jang dipilih, kematian jang berarti,
Serta hidup jang mendahului, itulah soal

Angin pagi menampar mukaku, dan dunia senjap
Terasa betapa tjandi megan jang dibangun untukmu ini
Terrengah memikul arwahmu, memikul nilaimu
Dan bumi Bali seperti mendakwa atas namamu

Ngurah Rai, dalam pagi jang gemetar dan hati jang bergetar ini
Jang tunduk melandai dihadapanmu, terasa betapa kau
Selalu bersama kami, memberi darah senantiasa
Dalam badai kemenangan atau pahitnja kekalahan

O bumi tertjinta, bumi jang kau bela, jang kinipun masih tersisa
Kau jang berbahagia mendukung djasadnja dan abadi memeluknja
Kau tahu, bahwa kami jang gemetar berdiri disini
Sekali waktu akan menebus segala, ketika sendjata angkat bicara
</pre>
 
 
Sumber: HR Minggu 11 Agustus 1963